Penulis :Mohammad Arif
Erapena.com- Opini– Tanah Boalemo pernah begitu hidup atau setidaknya tampak hidup oleh suara mesin dan hiruk-pikuk para penambang. Dari pagi hingga malam, bukit-bukit di Desa Tenilo dan lereng-lereng di Dusun Sambati digali dengan semangat yang nyaris tak pernah padam.
Bukan karena keserakahan, melainkan karena harapan bahwa dari setiap butir emas yang ditemukan, ada dapur yang tetap mengepul, ada anak-anak yang tetap bisa bersekolah, dan ada kehidupan yang masih bisa diperjuangkan.
Ya, tambang itu memang ilegal. Tanpa izin, tanpa pengawasan, tanpa regulasi. Namun bagi banyak keluarga, itulah satu-satunya opsi ekonomi yang tersedia di tengah sempitnya pilihan dan ketidakpastian penghidupan.
Kini semuanya berubah. Sambati, yang dulu nyaris tak pernah tidur, kini diam. Jalan-jalan setapak yang dulunya dipenuhi truk dan motor pengangkut karung-karung tanah tambang, kini hanya dilalui oleh bayang-bayang dan angin.
Penertiban dilakukan secara cepat dan tegas. Satu per satu lokasi tambang rakyat disisir. Tak ada kompromi. Seolah tambang harus lenyap dalam semalam, tanpa memedulikan apa yang ditinggalkan.
Kebingungan muncul di tengah masyarakat. Di satu sisi, tambang ilegal merusak alam. Sungai-sungai yang keruh tak akan jernih kembali dalam waktu singkat. Lingkungan yang rusak hari ini akan menjadi warisan pahit bagi generasi yang akan datang.
Namun di sisi lain, aktivitas tambang itu telah menghidupi ribuan wajah yang menggantungkan harapan. Pemuda-pemuda yang tak menemukan peluang kerja lain. Para ibu yang setiap hari menunggu kabar baik dari gundukan tanah tambang. Mereka bukan penjahat. Mereka adalah rakyat yang berjuang dengan alat seadanya di tengah sistem yang tak sepenuhnya berpihak.
Pertanyaannya, apakah mereka yang menggali dari tanah sendiri itu salah? Atau justru kesalahan ada pada sistem yang membiarkan mereka tak punya pilihan?
Penertiban tambang ilegal memang penting. Tapi jangan sampai dilakukan tanpa kepekaan sosial. Jangan sampai hukum ditegakkan dengan kaku, tanpa solusi alternatif yang manusiawi. Sambati hari ini adalah gambaran luka yang dibuka, tetapi tak diberi obat. Tak ada aktivitas, tak ada arah, dan yang paling menakutkan: tak ada kejelasan.
Di warung-warung kopi, obrolan berubah. Bukan lagi soal berapa gram emas yang didapat, melainkan soal ketakutan. Siapa lagi yang akan ditangkap? Apakah benar tambang akan ditutup selamanya? Dan jika iya, bagaimana cara mereka hidup esok hari?
Apakah ini kemenangan hukum, atau awal dari kekosongan baru? Di satu sisi, alam akhirnya punya waktu untuk bernapas. Namun, mata-mata lelah yang dulu hidup dari emas kini memandang hari tanpa harapan.
Tambang rakyat adalah kenyataan ekonomi. Tambang ilegal adalah kenyataan hukum. Dan ketika dua realitas ini bertabrakan tanpa jembatan yang adil, maka yang terluka adalah rakyat kecil, mereka yang suaranya paling pelan, dan paling sering diabaikan.
Boalemo kini menunggu. Menunggu apakah penertiban ini akan dibarengi oleh solusi yang berpihak pada rakyat. Menunggu apakah suara para penambang harian akan didengar di ruang-ruang pertemuan kebijakan.
Dan menunggu apakah pemerintah berani membangun jalan keluar yang tidak hanya melindungi hutan, tetapi juga melindungi hidup mereka yang menggantungkan harapan pada tanah. Sunyi ini tak bisa dibiarkan terlalu lama.